RuangBerita – Viral video di media sosial memperlihatkan mobil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X tanpa pengawalan berhenti di lampu merah. Mobil Sultan terlihat disalip rombongan mobil diduga pejabat dengan pengawalan polisi.
Informasi yang dihimpun, mobil AB 10 NDX yang dikendarai Sultan tengah berhenti menunggu lampu hijau. Dari sisi kanan, melintas rombongan diduga pejabat yang dikawal polisi lalu lintas melawan arah.
Koordinator Substansi Bagian Humas Biro Umum, Humas, dan Protokol Setda DIY, Ditya Nanaryo Aji saat dikonfirmasi membenarkan kendaraan tersebut milik Sri Sultan HB X. Peristiwa dalam video itu terjadi pada Rabu 8 Oktober 2025.
“Kendaraan yang berhenti di video dan pelat tersebut memang milik Sri Sultan HB X. Saat itu beliau menggunakan kendaraan pribadi kala mendampingi kunjungan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Agus Harimurti Yudhoyono – AHY) di Karangmojo, Gunungkidul,” kata Nanaryo Aji, Sabtu (11/10/2025).
Namun untuk memastikan apakah yang menyalip adalah rombongan menteri, Ditya meminta wartawan untuk melakukan konfirmasi ke kementerian terkait. Saat dihubungi Liputan6.com, pihak Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Menko Infra) menegaskan rombongan kendaraan yang menyalip mobil Sri Sultan HB X itu bukan iring-iringan Menteri AHY.
“Tidak benar itu rombongan Pak Menko Infra AHY. Tidak sesuai dengan prosedur standar yang biasa kami gunakan. Ketika kunjungan di Yogya kemarin, tidak ada satupun rombongan kami menggunakan kendaraan plat merah. Silahkan netizen mencari tahu, kemungkinan plat merah itu terasosiasi dengan instansi mana,” ujar Herzaky Mahendra Putra, Staf Khusus Menko Infra Bidang Komunikasi dan Informasi Publik.
Ia menyatakan sangat menyayangkan adanya akun media sosial yang membuat postingan secara tidak bertanggung jawab tanpa mengecek data dan faktanya dengan menuduh rombongan Menko AHY melanggar lampu merah. “Kami harapkan untuk bisa menggunakan kebebasan bermedia sosial dengan baik dan bertanggung jawab.”
Terkait dengan kebiasaan Ngarso Dalem, sebutan kepada Raja Ngayogyakarta, Ditya mengatakan hal ini sudah berlangsung lama, jauh sebelum dirinya ditugaskan di bagian umum.
Dari beberapa informasi yang didapatkan, tiadanya pengawalan untuk kendaraan Ngarso Dalem saat melakukan kunjungan ke wilayah kerjanya sebagai Gubernur DIY disebutnya merupakan keinginan Sultan.
“Beliau memang jarang menggunakan fasilitas pengawalan, baik saat bertugas menuju ke kantor, ataupun saat berkunjung di lapangan. Beliau merasa pengawalan itu bukan hal yang urgent, jadi tidak pernah minta,” katanya.
Tapi kondisi berbeda akan diterapkan jika Ngarso Dalem harus mendampingi Presiden dalam kunjungannya atau membersamai pejabat pusat. Di kondisi ini mobil Sultan harus berada dalam satu rombongan bersama dengan Bupati/Wali Kota dan pejabat Forkopimda yang mendapatkan pengawalan.
Salah satu warga Gunungkidul yang mengetahui kejadian tersebut, Kismaya menyatakan apa yang dilakukan Ngarso Dalem adalah pemandangan bagus yang menjadi contoh teladan baik.
“Di mana saya melihat rombongan mobil menteri, nah saya melihat yang khusus mobilnya gubernur AB 10 HBX tanpa pengawalan ketat, tanpa patwal,” katanya.
Tak Ingin Adigang Adigung
Menanggapi kondisi ini, Ketua Program Studi (Kaprodi) Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta, Mukhijab melihat hal ini merupakan gambaran nyata bagaimana fatsun atau sopan santun Sultan dalam berpolitik dengan masyarakat.
“Sebenarnya pengawalan bagi Raja sekaligus Gubernur sangat layak. Masalahnya, konotasi pengawalan dengan voorijder bagi pejabat mengesankan arogansi karena kendaraan pejabat bisa menyalip dan menyingkirkan kendaran lain termasuk kendaraan yang dikendarai rakyat kecil,” terangnya.
Menurutnya tanpa pengawalan, Sri Sultan tidak ingin adigang adigung dengan menang sendiri di jalan. Beliau ingin menunjukkan tahta untuk rakyat berlaku di jalanan. Kendaraan raja dan gubernur dikendalikan dengan ritme sesuai kehendak rakyat
“Fatsun politik berkendara pejabat semacam itu hanya ada pada Sultan Mataram, tidak bagi yang lain,” tutup Mukhijab.